✮⋆˙Malam itu, hutan yang biasanya penuh dengan suara jangkrik mendadak bisu. Aku, Liam, dan Altair berdiri di tengah hamparan daun gugur, menatap kobaran api yang tak biasa di depan kami. Api itu bukan sekadar nyala yang menghangatkan atau menerangi; ia hidup, bergulung-gulung seperti naga yang melata, membentuk makhluk-makhluk mengerikan dengan mata menyala tajam.
“Fiendfyre…” gumam Altair, suaranya serak.
Aku menoleh ke arahnya, mencoba membaca raut wajahnya. Altair selalu tenang, tapi kali ini aku bisa melihat ketegangan yang sulit ia sembunyikan. Liam, di sisi lain, menggenggam tongkat sihirnya erat-erat. Biasanya ia penuh lelucon, tapi saat ini ia terdiam, matanya terpaku pada sosok-sosok api yang terus mendekat.
“Kita tidak bisa kabur dari ini,” kataku akhirnya. Suaraku nyaris hilang ditelan suara gemuruh api.
“Tapi melawan Fiendfyre?” Liam tertawa kecil, meskipun jelas dia takut. “Kita bahkan belum benar-benar menguasai mantra pertahanan tingkat tinggi.”
“Tidak ada pilihan lain,” balas Altair. “Kalau kita tidak menghentikannya, hutan ini, desa di sekitarnya… semuanya akan habis.”
Aku menelan ludah, merasakan berat tanggung jawab itu menekan dadaku. Kami hanya bertiga, dan di hadapan kami adalah kekuatan liar yang bahkan penyihir terhebat pun segan untuk menantangnya. Namun, persahabatan kami sudah melalui banyak hal. Kami selalu saling mendukung, apa pun yang terjadi.
“Ayo. Kita lakukan bersama,” ujarku sambil mengangkat tongkat.
Altair mengangguk, dan Liam, meski ragu, akhirnya mengikuti. Kami bertiga berdiri membentuk lingkaran kecil, menghadapi Fiendfyre yang semakin besar, membentuk siluet naga berapi yang melingkar di udara.
“Di hitungan ketiga,” kata Altair. “Ucapkan mantra dengan seluruh kekuatan yang kalian punya. Kita hanya punya satu kesempatan.”
Kami mengangguk serempak.
“Satu… dua…”
“Protego Maxima!” seru kami bersamaan.
Kilatan cahaya biru keluar dari tongkat kami, membentuk perisai besar yang berpendar di udara. Perisai itu menahan serangan Fiendfyre untuk sesaat, tapi jelas tidak cukup. Api itu mengamuk, mendobrak perisai kami dengan kekuatan luar biasa.
“Kita perlu lebih dari ini!” teriak Liam, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh.
Altair mengertakkan gigi, lalu berteriak, “Percayakan padaku! Fokus pada perlindungan!”
Tanpa ragu, aku dan Liam mengalirkan seluruh energi kami ke mantra pertahanan. Sementara itu, Altair melangkah maju, tatapannya tajam. Ia mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, kemudian mengucapkan mantra yang tak pernah kudengar sebelumnya.
“Fiendfyre extinguendus!”
Sebuah ledakan cahaya terjadi. Angin kencang berputar, membuat dedaunan berterbangan. Fiendfyre mengaum, makhluk-makhluk apinya berusaha bertahan, tapi perlahan bentuk mereka mulai memudar. Satu demi satu, naga, ular, dan singa api itu hancur, berubah menjadi asap hitam yang perlahan menghilang.
Ketika semuanya berakhir, kami bertiga terjatuh ke tanah, napas tersengal-sengal. Hutan kembali sunyi, hanya terdengar suara angin lembut yang membawa aroma hangus.
Liam tertawa kecil, meski masih terengah. “Altair, kau menyimpan trik ini dariku? Aku merasa tersisih.”
Altair tersenyum tipis, mengusap keringat di dahinya. “Aku baru mencobanya tadi. Kalau gagal, mungkin kita semua sudah habis.”
Aku tertawa, lelah tapi lega. “Kita berhasil… bersama.”
Kami bertiga saling menatap, dan di saat itu aku tahu, persahabatan kami lebih kuat dari apa pun—bahkan dari kobaran api yang paling mematikan. Di tengah semua ketakutan dan ketidakpastian, kami menemukan keberanian dalam diri kami, dalam percik api kecil yang menyatukan hati kami. ༄˖°.🍂.ೃ࿔*:・