ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
𓏢 . . . Matahari menyingsing seraya embun berpaling, berhias peluh di kala sang surya berada pada sebuah puncak mata angin. Dilihatnya sebuah bangunan usang dengan dinding putih yang mulai menghitam dimakan usia—pun dengan selaras ditemani pohon mangga yang tak henti-hentinya berbuah dari waktu ke waktu, bak menjadi saksi atas segala peristiwa yang terjadi.
Slamet Raya, Mojosongo, (...)
Surakarta, Jawa Tengah. 💌
Di depan bangunan itu dengan manisnya tertata kursi kayu tua yang tetap dengan nyamannya untum diduduki. Seorang pria paruh baya duduk di sana dengan pikiran yang entah berlari-lari kemana——berdeham sesekali sebab bosan menunggu sunyi beranjak pergi. Sang pria menulis pada secarik kertas untuk para penghuni yang sedang melangkah keluar dari tempat ini.
▎“Aku membiarkan kalian
▎'tuk berkelana, menyusuri
▎angkasa raya yang luasnya
▎tidak terkira. Mengitari jua
▎tiap-tiap planet berputar
▎pada porosnya. Mengorbit
▎pada sang surta di ruang
▎kedap udara. Mengunjungi
▎setiap sisi alam semesta.
▎Namun, janganlah lupakan
▎jalanmu untuk pulang. Ke
▎rumahmu, Grahá Bidatara.
Grahá Bidatara pun berdiri kokoh untuk meredakan lelah, penat, dan mampu menyederhanakan hal-hal yang rumit. Hingga ketika dunia bagi penghuninya terasa begitu riuh dan juga menyesak, tidak adakah alasan lagi selain pulang. Sebab tak ada lagi kesenangan yang menenangkan, kecuali rumah—Graha Bidatara. 💗